Adat Istiadat Orang Melayu Kayong, Ketapang Kalimantan Barat

Suku Melayu Kayong hidup di sekitar wilayah pantai, pulau-pulau kecil, dan pedalaman hutan di Ketapang. Dari kehidupan ini, terlihat kedekatan mereka dengan alam.
Orang Melayu Kayong memiliki sejarah asal-usul yang unik. Menurut M. Dardi D. Has (2008) dalam buku Kebudayaan, Adat Istiadat, dan Hukum Adat Melayu Ketapang, mereka adalah keturunan campuran dari Jawa (Prabu Jaya), Palembang (Sang Maniaka), Bugis (Daeng Manambon), Berunai (Raja Tengah), dan Siak (Tengku Akil).
Menurut asal-usul di atas, terlihat kebudayaan orang Melayu Kayong menjadi agak berbeda dengan masyarakat Ketapang pada umumnya. Meskipun mayoritas Islam, namun orang Melayu Kayong banyak mengadopsi ritual keyakinan lainnya, misalnya dalam upacara adat sunatan mereka membaca mantra-mantra dan meletakkan sesaji tertentu di sela-sela pembacaan Al quran. Mereka juga masih mempercayai pantangan-pantangan tertentu yang disebut pantang penti dan pamali.
Realitas ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena orang Melayu Kayong yang mayoritas muslim ternyata melakukan adat-istiadat yang di kalangan muslim pada umumnya ditolak.

Adat Terhadap Anak Perempuan

Orang Melayu Kayong memiliki tradisi unik sehubungan dengan anak perempuan. Seperti umumnya anak laki-laki yang disunat, maka demikian pula halnya dengan anak perempuan. Tentu saja cara sunat anak perempuan berbeda dengan laki-laki. Sunat ini bertujuan untuk menyucikan anak perempuan dari beberapa “kekotoran” yang dibawa dari lahir. Sunat perempuan juga ditujukan agar dijauhkan dari penyakit.
Sunat untuk anak perempuan adalah tradisi leluhur yang dilakukan ketika anak masih berumur kurang lebih 7-10 bulan. Sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau bidan yang sudah ahli dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.
Selain sunat, ketika anak perempuan menginjak umur 8-9 tahun, diadakan ritual mandi susu. Ritual ini lazimnya digelar bersamaan dengan mandi pengantin saudara perempuan sang anak, yaitu waktu pengantin melaksanakan ritual mandi tiga malam. Sang anak akan didandani seperti halnya pengantin. Adat ini merupakan inisiasi saat sang anak menginjak dewasa (masa peralihan). Ritual ini juga digelar saat seorang anak perempuan hamil tujuh bulan.
Satu lagi adat terhadap anak perempuan Melayu Kayong adalah belamin. Belamin atau lamin adalah ritual untuk anak perempuan bangsawan saat datang bulan pertama kali. Selama beberapa waktu, anak ditempatkan di dalam kamar (lamin) tertutup dan tidak boleh terkena sinar matahari. Di dalam lamin, sang anak melakukan bekase, yaitu membedaki dirinya sendiri dengan bedak buatan sendiri. Ritual ini memiliki makna agar anak pintar berhias dan percaya diri, khususnya untuk keluarga dan suaminya kelak.
Selama di dalam lamin, sang anak juga diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewanitaan. Setelah selesai waktunya, diadakan ritual turun lamin, yaitu si anak perempuan dikeluarkan dari lamin, setelah itu ia dianggap sudah siap menuju dewasa dan siap menikah.

Tetambe dan Kesambat

Selain adat terhadap perempuan, orang Melayu Kayong juga memiliki tradisi tetambe dan kesambat. Tetambe merupakan sistem pengobatan tradisional orang Melayu Kayong. Tetambe juga menjadi tradisi yang sakral dan unik dalam kehidupan mereka karena adanya akulturasi budaya yang dinamis antara kebudayaan Melayu dengan Jawa, Islam, dan Cina. Hal itu dapat dilihat dari perpaduan antara cara pengobatan dan mantra-mantra yang digunakan.
Orang Melayu Kayung juga mengenal istilah kesambat, yaitu penyakit akibat dirasuki makhluk halus. Kesambat biasanya akan diderita orang ketika berada di hutan. Penyakit ini hanya bisa diobati dengan tetambe dan mantra-mantra dari dukun. Mantra tetambe terbilang unik karena dilantunkan layaknya pantun. Berikut adalah salah satu mantra tetambe:

tetak kayu di hutan
tetak kuparas
aku menjampi kesambat orang di hutan
mintak nyaman mintak waras

Jasa para dukun masih dianggap penting dalam kehidupan orang Melayu Kayong hingga sekarang, meskipun sudah terdapat pelayanan medis yang lebih modern. Tetambe berupa ramuan tradisional dan mantra terkadang lebih dipercaya daripada resep dokter. Apalagi mantra itu menggunakan bahasa Arab atau diambil dari ayat Al quran.

Tapi sekarang budaya seperti itu mulai terkikis oleh pesatnya perkembangan zaman...
Bahkan adat istiadat mulai dilupakan...
Padahal seru gan kalau agan hadir dalam acara adat begitu, bisa kumpul dan mendengar cerita para orang tua tentang pengalaman hidup mereka, sejarah, dan lainnya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sungai Pawan Ketapang, Kalimantan Barat