KISAH BATU MENANGIS
Kisah batu menangis. Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung
dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini memiliki ratusan sungai besar dan
kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah “Seribu Sungai”. Menurut cerita, di
sebuah daerah di provinsi ini ada seorang gadis cantik yang menjelma menjadi
batu. Peristiwa apa yang menimpa gadis itu, sehingga menjelma menjadi batu?
Ingin tahu cerita selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Menangis
Berikut ini!
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan
Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang
cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di
ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah
Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh
upahan.
Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun
yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang
malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin.
Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas,
kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau
membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah,
ia selalu menolak.
”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.
”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan
kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.
”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu
mengiba.
”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena
tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah
keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat
berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk
bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk
mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah
yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.
”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.
”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita
hari ini,” ujar sang Ibu.
”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,”
kata Darmi.
”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan
uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.
Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada
Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta
lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang
lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.
Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi
berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat
kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.
”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.
”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi
menolak ajakan Ibunya.
”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu,
Nak!” seru Ibunya.
Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke
pasar.
”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus
berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.
”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.
”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan
berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.
”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?”
tanya sang Ibu.
”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput
dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!”
seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.
Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya.
Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan
di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang.
Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda.
Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan
pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang
sangat kotor dan penuh tambalan.
Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang
tinggal di kampung lain.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.
”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.
”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?”
tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.
”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi
dengan nada sinis.
Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan
putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu,
keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama
berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.
”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.
”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.
”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan
pertanyaan-pertanyaan itu.
Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya
semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang
terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang
Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.
”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.
Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja
tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya
komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.
Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia
tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.
”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah
tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman
yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung.
Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan
deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai
panik.
”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya
Darmi sambil berteriak.
”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan
mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman
itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah
menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis
durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum
kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari
kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan
peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala.
Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka
letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu
itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan
baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.
Demikian cerita dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia.
Cerita di atas termasuk cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan
dari sikap durhaka terhadap orang tua. Oleh karena itu, seorang anak harus
hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, karena doa ibu akan didengar oleh
Tuhan.
Komentar
Posting Komentar